Halaman ini adalah versi tampilan cetak (print view) dari:
http://sabda.org/publikasi/e-reformed/114

e-Reformed edisi 114 (28-8-2009)

Etika Lingkungan Hidup dari Perspektif Teologi Kristen

 
  Dear e-Reformed Netters,

  Di dalam sejarah peradaban manusia, terdapat tiga revolusi yang 
  telah mengubah pola kehidupan bermasyarakat selamanya, baik dari 
  segi produksi, distribusi, maupun konsumsi. Yang pertama adalah 
  Revolusi Agraria pada masa prasejarah, yang kedua adalah Revolusi 
  Industri pada abad ke-18, dan yang ketiga adalah revolusi yang 
  berhubungan dengan pengolahan minyak bumi pada paruh abad ke-19.

  Revolusi Agraria adalah berubahnya metode pencarian makanan dan 
  pekerjaan yang dulunya pemburu dan pengumpul makanan menjadi petani 
  dan penggarap kebun/ladang. Revolusi ini memungkinkan manusia untuk 
  memproduksi makanan lebih dari yang ia butuhkan, sehingga terjadi 
  surplus. Dari sana berkembanglah penimbunan, perdagangan, dan 
  pemukiman yang lebih besar. 

  Revolusi Industri ditandai dengan proses otomatisasi produksi, 
  terutama tenaga kerja manusia digantikan dengan mesin yang berakibat 
  pada penggunaan batu bara dalam jumlah besar serta berlanjut pada 
  pencarian sumber energi alternatif yang lebih mudah diperoleh serta 
  lebih "ramah lingkungan", karena seperti yang kita ketahui proses 
  penambangan batu bara sering kali memakan korban jiwa selain juga 
  menimbulkan dampak polusi yang sangat hebat.

  Penemuan cara penyulingan "minyak batu" (petroleum) menjawab 
  kebutuhan tersebut. Minyak bumi dapat dihasilkan lebih cepat 
  daripada batu bara dengan polusi yang relatif lebih kecil 
  dibandingkan batu bara. Namun penggunaan minyak bumi secara luas, 
  terutama sejak Perang Dunia II, baik pada kendaraan bermotor maupun 
  pabrik-pabrik, telah menghasilkan polusi yang luar biasa besarnya 
  sebagai timbal balik dari segala fasilitas yang dapat dinikmati oleh 
  manusia saat ini.

  Adalah tugas kita, terkhusus sebagai anak-anak Tuhan, untuk 
  mengelola bumi dan memanfaatkan sumber daya alamnya secara 
  bertanggung jawab. Kita perlu memikirkan tidak hanya kepentingan 
  sesaat saja, tetapi juga untuk berpikir ke depan, untuk anak-anak 
  serta generasi-generasi yang akan datang supaya mereka tidak hidup 
  di tengah-tengah dunia yang rusak akibat polutan-polutan yang telah 
  kita tinggalkan serta sumber daya yang telah kita habiskan. Jadilah 
  orang Kristen yang mencintai lingkungan.

  Kiranya artikel di bawah ini menolong Anda untuk menyadari bahwa 
  dari awal penciptaan, Tuhan telah memanggil manusia untuk mengelola 
  dan memelihara alam ciptaan-Nya sesuai dengan rancangan-Nya yang 
  ajaib. Menyimpang dari rancangan-Nya akan menyebabkan malapetaka. 
  Apakah rancangan-Nya itu? Selamat menyimak artikel yang diambil dari 
  Jurnal Pelita Zaman dan ditulis oleh Robert P. Borrong di bawah ini.

  In Christ, 
  Redaksi Tamu e-Reformed, 
  Kusuma Negara 
  http://reformed.sabda.org/

======================================================================
       
       ETIKA LINGKUNGAN HIDUP DARI PERSPEKTIF TEOLOGI KRISTEN

  I. Pengantar

  Akhir-akhir ini, perhatian dan kesadaran umat manusia untuk menjaga 
  dan memelihara kelestarian lingkungan hidupnya semakin meningkat. 
  Hal itu sejalan dengan pengetahuan yang semakin banyak dan 
  pengalaman yang semakin nyata bahwa lingkungan hidup atau planet 
  bumi sedang sakit atau rusak. Sakit atau rusaknya planet bumi itu 
  disebabkan oleh ulah manusia sendiri, yaitu dalam kaitannya dengan 
  pemanfaatan dan pengelolaan sumber-sumber alam. Cara memanfaatkan 
  dan mengelola lingkungan cenderung bersifat eksploitatif dan 
  destruktif. Maka proses pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan 
  mengandung aspek perusakan lingkungan, baik sengaja maupun tidak 
  sengaja.

  Sebenarnya proses perusakan lingkungan sudah berjalan lama, yaitu 
  sejak dimulainya proses industrialisasi. Industrialisasi menyadarkan 
  manusia bahwa alam merupakan deposit kekayaan yang dapat 
  memakmurkan. Maka mulai saat itu sumber-sumber alam dieksploitasi 
  untuk diolah menjadi barang guna memenuhi kebutuhan demi kemakmuran 
  hidup manusia. Dengan adanya alat ampuh, yaitu mesin, maka alam pun 
  dipandang dan dikelola secara mekanis. Terjadilah intensitas 
  pengeksploitasian lingkungan menjadi semakin gencar tak terkendali. 
  Alam tidak lebih dari benda mekanis yang hanya bernilai sebagai 
  instrumen untuk kepentingan manusia. Alam tidak lagi dihargai 
  sebagai organisme. Sayangnya, kesadaran akan semakin rusaknya 
  lingkungan hidup mulai muncul sejak sesudah Perang Dunia II dan 
  mulai mengglobal tiga dekade yang lalu ketika alam terlanjur rusak 
  berat atau sakit parah. Ketika itu manusia makin menyadari bahwa 
  sumber-sumber alam (khususnya "non- renewable resources") semakin 
  menipis.

  Pengelolaan alam secara mekanistik yang diikuti pula oleh 
  pertumbuhan demografi yang terus melaju sehingga pada akhir dekade 
  1960-an ditandai dengan "ledakan penduduk dunia". Kenyataan itu 
  mendorong digerakkannya pembangunan yang berorientasi pada 
  "pertumbuhan ekonomi" yang justru semakin meningkatkan 
  pengeksploitasian sumber-sumber alam. Hal ini tidak untuk kemakmuran 
  saja, tetapi bahkan untuk memenuhi kebutuhan paling dasar dari umat 
  manusia yang semakin banyak. Misalnya, hutan selain sebagai sumber 
  bahan baku untuk diolah menjadi bahan produk, juga dikonversi 
  menjadi lahan pertanian. Perusakan ini diperberat oleh polusi atau 
  pencemaran. Untuk menjaga kesuburan lahan pertanian, digunakan pupuk 
  kimia, dan untuk menjaga panen dari serangan hama, digunakan 
  pestisida secara besar-besaran sehingga produksi pertanian 
  meningkat. Semua itu, bersama dengan industri dan transportasi yang 
  dibangun untuk meningkatkan produksi dan distribusi, membentur alam 
  dalam bentuk polusi. Akibatnya sumber alam semakin menipis, 
  kemampuan daya dukung alam berkurang dan mengancam kehidupan manusia 
  sendiri.

  Dari keterangan di atas, menjadi nyata bahwa benturan yang 
  menyebabkan lingkungan hidup menderita sakit atau rusak datang dari 
  manusia dalam proses mengambil, mengolah, dan mengonsumsi sumber-
  sumber alam. Benturan terjadi ketika proses-proses itu melampui 
  batas-batas kewajaran atau proposionalitas. Batas-batas kewajaran 
  atau proposionalitas itu terlampaui ketika manusia semakin mampu 
  dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi memanfaatkan sumber-
  sumber secara masal, intensif, dan cepat dan sekaligus mengotori 
  atau mencemarinya. Tetapi yang lebih parah lagi, yaitu bahwa manusia 
  yang merasa semakin enak semakin tidak tahu diri, sehingga ia 
  seolah-olah menjelma menjadi tuan dan pemilik alam. Maka kesadaran 
  untuk menjaga dan memelihara lingkungan hidup harus dikembalikan 
  pada manusia, dengan mempertanyakan tentang dirinya dan kelakuannya 
  terhadap alam. Apa kata teologi atau etika Kristen?

  II. Dasar Teologis Etika Lingkungan

  Dalam cerita penciptaan dikatakan bahwa manusia diciptakan bersama 
  dengan seluruh alam semesta. Itu berarti bahwa manusia memunyai 
  keterkaitan dan kesatuan dengan lingkungan hidupnya. Akan tetapi, 
  diceritakan pula bahwa hanya manusia yang diciptakan sebagai gambar 
  Allah ("Imago Dei") dan yang diberikan kewenangan untuk menguasai 
  dan menaklukkan bumi dengan segala isinya. Jadi di satu segi, 
  manusia adalah bagian integral dari ciptaan (lingkungan), akan 
  tetapi di lain segi, ia diberikan kekuasaan untuk memerintah dan 
  memelihara bumi. Maka hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya 
  seperti dua sisi dari mata uang yang mesti dijalani secara seimbang.

  1. Kesatuan Manusia dengan Alam

  Alkitab menggambarkan kesatuan manusia dengan alam dalam cerita 
  tentang penciptaan manusia: "Tuhan Allah membentuk manusia itu dari 
  debu tanah" (Kej. 2:7), seperti Ia juga "membentuk dari tanah segala 
  binatang hutan dan segala burung di udara" (Kej. 2:19). Dalam bahasa 
  Ibrani, manusia disebut "adam". Nama itu memunyai akar yang sama 
  dengan kata untuk tanah, "adamah", yang berarti warna merah 
  kecokelatan yang mengungkapkan warna kulit manusia dan warna tanah. 
  Dalam bahasa Latin, manusia disebut "homo", yang juga memunyai makna 
  yang berkaitan dengan "humus", yaitu tanah. Dalam artian itu, tanah 
  yang biasa diartikan dengan bumi, memunyai hubungan lipat tiga yang 
  kait-mengait dengan manusia: manusia diciptakan dari tanah (Kej. 
  2:7; 
  Kej. 3:19, Kej.3:23), ia harus hidup dari menggarap tanah (Kej. 3:23), dan 
  ia pasti akan kembali kepada tanah (Kej. 3:19; Maz. 90:3). Di sini 
  nyata bahwa manusia dan alam (lingkungan hidup) hidup saling 
  bergantung -- sesuai dengan hukum ekosistem. Karena itu, kalau 
  manusia merusak alam, maka secara otomatis berarti ia juga merusak 
  dirinya sendiri.

  2. Kepemimpinan Manusia Atas Alam

  Walaupun manusia dengan alam saling bergantung, Alkitab juga 
  mencatat dengan jelas adanya perbedaan manusia dengan unsur-unsur 
  alam yang lain. Hanya manusia yang diciptakan segambar dengan Allah 
  dan yang diberikan kuasa untuk menguasai dan menaklukkan bumi dengan 
  seluruh ciptaan yang lain (Kej. 2:26-28), dan untuk mengelola dan 
  memelihara lingkungan hidupnya (Kej. 2:15). Jadi, manusia memunyai 
  kuasa yang lebih besar daripada makhluk yang lain. Ia dinobatkan 
  menjadi "raja" di bumi yang dimahkotai kemuliaan dan hormat (Maz. 
  8:6). 
  Ia menjadi wakil Allah yang memerintah atas nama Allah 
  terhadap makhluk-makhluk yang lain. Ia hidup di dunia sebagai duta 
  Allah. Ia adalah citra, maka ia ditunjuk menjadi mitra Allah. Karena 
  ia menjadi wakil dan mitra Allah, maka kekuasaan manusia adalah 
  kekuasaan perwakilan dan perwalian. Kekuasaan itu adalah kekuasaan 
  yang terbatas dan yang harus dipertanggungjawabkan kepada pemberi 
  kuasa, yaitu Allah. Itu sebabnya manusia tidak boleh sewenang-wenang 
  terhadap alam. Ia tidak boleh menjadi "raja lalim". Kekuasaan 
  manusia adalah kekuasaan "care-taker". Maka sebaiknya manusia 
  memberlakukan secara seimbang, artinya pengelolaan dan pemanfaatan 
  sumber-sumber alam diimbangi dengan usaha pemeliharaan atau 
  pelestarian alam.

  Kata "mengelola" dalam Kejadian 2:15, digunakan istilah Ibrani 
  "abudah", yang sama maknanya dengan kata ibadah dan mengabdi. Maka 
  manusia sebagai citra Allah seharusnya memanfaatkan alam sebagai 
  bagian dari ibadah dan pengabdiannya kepada Allah. Dengan kata lain, 
  penguasaan atas alam seharusnya dijalankan secara bertanggung jawab: 
  memanfaatkan sambil menjaga dan memelihara. Ibadah yang sejati 
  adalah melakukan apa saja yang merupakan kehendak Allah dalam hidup 
  manusia, termasuk hal mengelola ("abudah") dan memelihara ("samar") 
  lingkungan hidup yang dipercayakan kekuasaan atau kepemimpinannya 
  pada manusia.

  3. Kegagalan Manusia Memelihara Alam

  Alkitab mencatat secara khusus adanya "keinginan" dalam diri manusia 
  untuk menjadi sama seperti Allah dan karena keinginan itu ia 
  "melanggar" amanat Allah (Kej. 3:5-6). Tindakan melanggar amanat 
  Allah membawa dampak bukan hanya rusaknya hubungan manusia dengan 
  Allah, tetapi juga dengan sesamanya dan dengan alam. Manusia 
  menghadapi alam tidak lagi dalam konteks "sesama ciptaan", tetapi 
  mengarah pada hubungan "tuan dengan miliknya". Manusia memperlakukan 
  alam sebagai objek yang semata-mata berguna untuk dimiliki dan 
  dikonsumsi. Alam diperhatikan hanya dalam konteks kegunaan 
  (utilistik-materialistik). Manusia hanya memerhatikan tugas 
  menguasai, tetapi tidak memerhatikan tugas memelihara. Dengan 
  demikian, manusia gagal melaksanakan tugas kepemimpinannya atas 
  alam.

  Akar perlakuan buruk manusia terhadap alam terungkap dalam istilah 
  seperti: "tanah yang terkutuk", "susah payah kerja", dan "semak duri 
  dan rumput duri yang akan dihasilkan bumi" (Kej. 3:17-19). Manusia 
  selalu dibayangi oleh rasa kuatir akan hari esok yang mendorongnya 
  cenderung rakus dan materialistik (baca Mat. 6:19-25 par.). Secara 
  teologis, dapat dikatakan bahwa akar kerusakan lingkungan alam 
  dewasa ini terletak dalam sikap rakus manusia yang dirumuskan oleh 
  John Stott sebagai "economic gain by environmental loss". Manusia 
  berdosa menghadapi alam tidak lagi sekadar untuk memenuhi 
  kebutuhannya, tetapi sekaligus untuk memenuhi keserakahannya. Dengan 
  kata lain, manusia berdosa adalah manusia yang hakikatnya berubah 
  dari "a needy being" menjadi "a greedy being". Kegagalan dalam 
  melaksanakan tugas kepemimpinan atas alam merupakan pula kegagalan 
  manusia dalam mengendalikan dirinya, khususnya keinginan-
  keinginannya.

  4. Hubungan Baru Manusia-Alam

  Alkitab, khususnya Perjanjian Baru, mencatat bahwa Allah yang 
  Mahakasih mengasihi dunia ciptaan-Nya (kosmos) sehingga Ia mengutus 
  anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, yaitu Tuhan Yesus Kristus 
  (Yoh. 3:16). Tuhan Yesus Kristus yang disebut Firman (logos) 
  penciptaan (Kol. 1:15-17; Yoh. 1:3, 10a) telah berinkarnasi 
  (mengambil bentuk materi dengan menjelma menjadi manusia: Yoh. 1:1, 
  Yoh. 1:14); dan melalui pengorbanan-Nya di atas kayu salib serta 
  kebangkitan-Nya dari antara orang mati, Ia telah mendamaikan Allah 
  dengan segala sesuatu (ta panta) atau dunia (kosmos) ini (Kol. 1:19-
  20; 2 Kor. 5:18-19). Tuhan Yesus telah memulihkan hubungan Allah 
  dengan manusia dan dengan seluruh ciptaan-Nya dan memulihkan 
  hubungan manusia dengan alam. Atas dasar itu, maka hubungan harmonis 
  dalam Eden (Firdaus) telah dipulihkan.

  Apa yang dibayangkan dalam Perjanjian Lama sebagai nubuat tentang 
  kedamaian seluruh bumi dan di antara seluruh makhluk (Yes. 11:6-9; 
  Yes. 65:17; Yes. 66:22; Hos. 2:18-23) telah dipenuhi dalam diri Tuhan Yesus 
  Kristus. Maka dalam iman Kristen, hubungan baru manusia dengan alam 
  bukan saja hubungan "dominio" (menguasai) tetapi juga hubungan 
  "comunio" (persekutuan). Itu sebabnya Tuhan Yesus yang telah 
  berinkarnasi itu menggunakan pula unsur-unsur alam, yaitu "air, 
  angggur, dan roti" dalam sakramen yang menjadi tanda dan meterai 
  hubungan baru manusia dengan Allah. Dengan kata lain, hubungan 
  manusia dengan Allah yang baik harus tercermin dalam hubungan yang 
  baik antara manusia dengan alam. Persekutuan dengan Allah harus 
  tercermin dalam persekutuan dengan alam. Hubungan yang baik dengan 
  alam, sekaligus mengarahkan kita pada penyempurnaan ciptaan dalam 
  "langit dan bumi yang baru" (Why. 21:1-5) yang menjadi tujuan akhir 
  dari karya penebusan Allah melalui Tuhan Yesus Kristus. Dalam langit 
  dan bumi yang baru itulah Firdaus yang hilang akan dipulihkan.

  III. Norma Etika Lingkungan

  Akhir-akhir ini, etika lingkungan biasanya dibagi atas dua atau tiga 
  bagian yang antroposentris, ekosentris, dan biosentris. Bahkan 
  Robert Elliot mengemukakan lima konsep, yaitu yang disebutnya "human 
  centered ethics", "animal centered ethics", "life centered ethics", 
  "everything centered ethics", dan "ecological holism ethics". Saya 
  hanya akan mengikuti tiga pandangan yang saya kemukakan di atas. 
  Pandangan pertama, yaitu antroposentris, adalah pandangan yang telah 
  lama dianut oleh umat manusia yang beranggapan bahwa alam atau 
  lingkungan hanya memunyai nilai alat (instrumental value) bagi 
  kepentingan manusia. Pandangan antroposentris ini sering dihubungkan 
  dengan pandangan Barat yang melihat lingkungan hidup sebatas 
  maknanya bagi kesejahteraan dan kemakmuran manusia. Manusia Barat 
  menganut pandangan mengenai hubungan diskontinuitas antara manusia 
  dengan alam. Hanya manusia yang subjek, sedangkan alam atau 
  lingkungan adalah objek. Maka alam diteliti, dieksplorasi, lalu 
  dieksploitasi. Maka etika antroposentris ini tidak sejalan dengan 
  etika Kristen yang menekankan adanya kontinuitas antara manusia 
  dengan alam (adam-adamah, homo-humus).

  Pandangan yang kedua adalah biosentris. Penganut pandangan ini 
  berpendirian bahwa semua unsur dalam alam memunyai nilai bawaan 
  (inherent value), misalnya kayu memunyai nilai bawaan bagi kayu 
  sendiri sebagai alasan berada. Jadi kayu tidak berada demi untuk 
  kepentingan manusia saja. Demikianlah seluruh makhluk hidup memiliki 
  nilai inheren lepas dari kepentingannya bagi manusia. Manusia dan 
  makhluk-makhluk hidup lainnya memunyai hubungan kontiunitas, maka 
  manusia dan lingkungan memunyai tujuannya masing-masing. Maka tiap 
  makhluk memunyai hak mendapatkan perlakuan sesuai dengan hak yang 
  melekat padanya. Pandangan ini misalnya dianut oleh Paul Taylor, 
  Peter Singer, dan Albert Schweitzer.

  Pandangan ketiga, yaitu ekosentris, berpendirian bahwa bumi sebagai 
  keseluruhan atau sebagai sistem tidak dapat dipisahkan satu dari 
  yang lain. Maka lingkungan harus diperhatikan karena manusia 
  hanyalah salah satu subsistem atau bagian kecil dari seluruh 
  ekosistem. Pandangan ini dianut umumnya oleh manusia Timur, termasuk 
  orang Indonesia, yang sangat menekankan hubungan erat antara manusia 
  dengan lingkungan hidupnya. Manusia adalah mikro dari makro kosmos. 
  Menurut pandangan ini, bumi memiliki nilai hakiki (intrinsic value) 
  yang harus dihormati oleh manusia. Maka alam atau lingkungan tidak 
  boleh diperlakukan semena-mena, karena bumi memunyai nilainya yang 
  luhur yang harus dijaga, dihormati, dan dianggap suci.

  Kita akan mencoba melihat pandangan-pandangan ini berdasarkan 
  kesaksian Alkitab sebagaimana yang dikemukakan di bagian II di atas. 
  Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa etika lingkungan tidak 
  bersifat antroposentris, tetapi juga tidak sekadar bersifat 
  biosentris atau ekosentris. Manusia dan semua makhluk hidup lainnya, 
  bahkan seluruh planet bumi ini, bersumber dari Allah. Allah yang 
  menciptakannya dan Allah menghendaki seluruhnya berada, topang-
  menopang, dan saling membutuhkan. Maka etika lingkungan, dari 
  perspektif teologi Kristen, mestinya bersifat teosentris, artinya 
  berpusat pada Allah sendiri. Kita perlu menjaga dan memelihara 
  lingkungan hidup bukan saja karena kita membutuhkan sumber-sumber di 
  dalamnya dan karena bumi ini adalah rumah kita (antroposentris), 
  bukan pula karena makhluk hidup memiliki hak asasi seperti hak asasi 
  manusia (biosentris), juga bukan karena bumi ini merupakan suatu 
  ekosistem yang memiliki nilai intrinsik (ekosentris); kita perlu 
  menjaga dan memelihara lingkungan hidup karena lingkungan hidup 
  adalah ciptaan Allah, termasuk manusia, yang diciptakan untuk hormat 
  dan kemuliaan- Nya.

  Kalau kita memelihara lingkungan sekadar karena diperlukan untuk 
  menopang hidup manusia, kita akan jatuh ke dalam materialisme, nilai 
  etis yang telah terbukti merusak lingkungan. Kalau kita memelihara 
  lingkungan karena sekadar kecintaan kita pada lingkungan yang 
  memiliki hak seperti kita, maka kita akan jatuh ke dalam 
  romantisisme, nilai etis yang cenderung utopis. Kita perlu 
  memelihara lingkungan hidup kita sebagai ungkapan syukur pada Allah 
  Sang Pencipta yang telah mengaruniakan lingkungan dengan segala 
  kekayaan di dalamnya untuk menopang hidup kita dan yang membuat 
  hidup kita aman dan nyaman. Juga sebagai tanda syukur kita atas 
  pembaruan dan penebusan yang telah dilakukan Allah melalui 
  pengorbanan Yesus Kristus. Maka memelihara lingkungan tidak lain 
  dari ibadah kita kepada Allah. Bagaimana menjabarkan ibadah ini, 
  norma-norma berikut kiranya perlu dikembangkan sebagai penjabaran 
  etika lingkungan yang bersifat teosentris, dengan menunjukkan 
  solidaritas dengan semua makhluk, dengan sesama (termasuk generasi 
  penerus) dalam kasih dan keadilan.

  1. Solidaritas dengan Alam

  Karena manusia dengan lingkungan hidup adalah sesama ciptaan yang 
  telah dipulihkan hubungannya oleh Tuhan Yesus Kristus, maka manusia, 
  khususnya manusia baru dalam Kristus (2 Kor. 5:7), seharusnya 
  membangun hubungan solider dengan alam. Hubungan solider (sesama 
  ciptaan dan sesama tebusan) berarti alam mestinya diperlakukan 
  dengan penuh belas kasihan. Manusia harus merasakan penderitaan alam 
  sebagai penderitaannya dan kerusakan alam sebagai kerusakannya juga. 
  Seluruh makhluk dan lingkungan sekitar tidak diperlakukan semena-
  mena, tidak dirusak, tidak dicemari dan semua isinya tidak dibiarkan 
  musnah atau punah. Manusia tidak boleh bersikap kejam terhadap alam, 
  khususnya terhadap sesama makhluk. Dengan cara itu, manusia dan alam 
  secara bersama (kooperatif) menjaga dan memelihara ekosistem . 
  Contoh konkret: manusia berdisiplin dalam membuang sampah atau 
  limbah (individu, rumah tangga, industri, kantor, dan sebagainya) 
  agar tidak mencemari lingkungan dan merusak ekosistem. 
  Pencemaran/polusi mestinya dicegah, diminimalisir, dan dihapuskan 
  supaya alam tidak sakit atau rusak. Kita bertanggung jawab atas 
  kesehatan dan kesegaran alam kita. 

  Sikap solider dengan alam dapat pula ditunjukkan dengan sikap hormat 
  dan menghargai (respek) terhadap alam. Tidak berarti alam disembah, 
  tetapi alam dihargai sebagai ciptaan yang dikaruniakan Tuhan untuk 
  memenuhi kebutuhan manusia, sekaligus yang menjadi cerminan 
  kemuliaan Allah. Menghargai alam berarti menghargai Sang Pencipta 
  dan Sang Penebus. Contoh konkret misalnya tidak membabat hutan 
  sembarangan sebab membabat hutan dapat memusnahkan aneka ragam 
  spesies dalam hutan. Contoh lain, tidak menangkap ikan dengan 
  menggunakan bahan peledak atau bahan pemusnah lainnya. Sebaliknya, 
  usaha menghargai dapat dilakukan melalui usaha-usaha kreatif 
  mendukung dan melindungi kehidupan seluruh makhluk dan lingkungan 
  hidup misalnya dengan tidak hanya penghijauan, pembudidayaan, tetapi 
  juga usaha pemulihan dengan membersihkan lingkungan yang terlanjur 
  rusak. Pokoknya, sikap solidaritas dengan alam dapat ditunjukkan 
  dengan pola hidup berdisiplin dalam menjaga dan memelihara 
  keseimbangan ekosistem secara konstan.

  2. Pelayanan yang Bertanggung Jawab (Stewardship)

  Alam adalah titipan dari Allah untuk dimanfaatkan/dipakai/digunakan 
  manusia memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi sekaligus adalah 
  rumahnya. Maka sumber-sumber alam diberikan kepada manusia tidak 
  untuk diboroskan. Manusia harus menggunakan dan memanfaatkan sumber-
  sumber alam itu secara bertanggung jawab. Maka 
  pemanfaatan/penggunaan sumber- sumber alam haruslah dilihat sebagai 
  bagian dari pelayanan. Alam digunakan dengan memerhatikan 
  keseimbangan antara kebutuhan manusia dengan kebutuhan lingkungan, 
  yaitu menjaga ekosistem. Tetapi alam juga digunakan dengan 
  memerhatikan kebutuhan sesama, termasuk generasi yang akan datang.

  Memanfaatkan alam adalah bagian dari pertanggungjawaban talenta yang 
  diberikan/dipercayakan oleh Tuhan kepada manusia (Mat. 25:14-30 
  par.). Allah telah memercayakan alam ini untuk dimanfaatkan dan 
  dipakai. Untuk dilipatgandakan hasilnya, untuk disuburkan, dan 
  dijaga agar tetap sehat sehingga produknya tetap optimal. Oleh 
  karena itu, alam mesti dipelihara dan keuntungan yang didapat dari 
  alam sebagian dikembalikan sebagai deposit terhadap alam. Tetapi 
  juga dipergunakan secara adil dengan semua orang. Ketidakadilan 
  dalam memanfaatkan sumber-sumber alam adalah juga salah satu 
  penyebab rusaknya alam. Sebab mereka yang merasa kurang akan 
  mengambil kebutuhannnya dari alam dengan cara yang sering kurang 
  memerhatikan kelestarian alam, misalnya dengan membakar hutan, 
  mengebom bunga karang untuk ikan, dan sebagainya. Sebaliknya, mereka 
  yang tergoda akan kekayaan melakukan pengurasan sumber alam secara 
  tanpa batas.

  Panggilan untuk memanfaatkan sumber-sumber alam sebagai pelayanan 
  dan pertanggungjawaban talenta akan mendorong kita melestarikan 
  sumber- sumber alam, sekaligus melakukan keadilan terhadap sesama. 
  Contoh konkret: manusia menghemat menggunakan sumber-sumber alam 
  (bahan bakar fosil, hutan, mineral, dan sebagainya) agar tetap 
  mencukupi kebutuhan manusia dan makhluk hidup lain secara 
  berkesinambungan. Penghematan ini tidak hanya berarti penggunaan 
  seminimal mungkin sumber-sumber alam sesuai kebutuhan (air, energi, 
  kayu, dan sebagainya), tetapi mencakup pula pola 4R -- "reduce", 
  "reuse", "recycle", "replace" (atau mengurangi, menggunakan ulang, 
  mendaur ulang, dan mengganti) sumber- sumber alam yang kita 
  pergunakan setiap hari. Dunia modern yang sangat praktis mengajar 
  kita memakai lalu membuang. Sayangnya, yang sering dibuang itu 
  adalah yang semestinya masih berguna kalau didaur. Tidak jarang pula 
  yang dibuang itu sekaligus merusak lingkungan, misalnya bahan kimia 
  atau kemasan kaleng dan plastik. Karena itu, bahan-bahan yang 
  merusak alam sebaiknya tidak digunakan terlalu banyak dan tidak 
  dibuang sembarangan.

  3. Pertobatan dan Pengendalian Diri

  Kerusakan lingkungan berakar dalam keserakahan dan kerakusan 
  manusia. Itu sebabnya manusia yang dikuasai dosa keserakahan dan 
  kerakusan itu cenderung sangat konsumtif. Secara teologis, dapat 
  dikatakan bahwa dosa telah menyebabkan krisis moral/krisis etika dan 
  krisis moral ini menyebabkan krisis ekologis, krisis lingkungan. 
  Dengan demikian, setiap perilaku yang merusak lingkungan adalah 
  pencerminan krisis moral yang berarti tindakan dosa. Dalam arti itu, 
  maka upaya pelestarian lingkungan hidup harus dilihat sebagai 
  tindakan pertobatan dan pengendalian diri. Dilihat dari sudut 
  pandang Kristen, maka tugas pelestarian lingkungan hidup yang 
  pertama dan utama adalah mempraktikkan pola hidup baru, hidup yang 
  penuh pertobatan dan pengendalian diri, sehingga hidup kita tidak 
  dikendalikan dosa dan keinginannya, tetapi dikendalikan oleh cinta 
  kasih.

  Materialisme adalah akar kerusakan lingkungan hidup. Maka 
  materialisme menjadi praktik penyembahan alam (dinamisme modern). 
  Alam dalam bentuk benda menjadi tujuan yang diprioritaskan bahkan 
  disembah menggantikan Allah. Kristus mengingatkan bahaya mamonisme 
  (cinta uang/harta) yang dapat disamakan dengan sikap rakus terhadap 
  sumber-sumber alam (Mat. 6:19-24 par.; 1 Tim. 6:6-10). Karena 
  mencintai materi, alam dieksploitasi guna mendapatkan keuntungan 
  material. Maka supaya alam dapat dipelihara dan dijaga 
  kelestariannya, manusia harus berubah (bertobat) dan mengendalikan 
  dirinya. Manusia harus menyembah Allah dan bukan materi. Dalam arti 
  itulah maka usaha pelestarian alam harus dilihat sebagai ibadah 
  kepada Allah melawan penyembahan alam, khususnya penyembahan alam 
  modern alias materialisme/mamonisme. Pelestarian alam juga harus 
  dilihat sebagai wujud kecintaan kita kepada sesama sesuai ajaran 
  Yesus Kristus, di mana salah satu penjabarannya adalah terhadap 
  seluruh ciptaan Allah sebagai sesama ciptaan.

  IV. Kesimpulan

  Alam atau lingkungan hidup telah dikaruniakan oleh Tuhan kepada kita 
  untuk digunakan dan dimanfaatkan demi kesejahteraan manusia. Manusia 
  dapat menggunakan alam untuk menopang hidupnya. Dengan kata lain, 
  alam diciptakan oleh Tuhan dengan fungsi ekonomis, yaitu untuk 
  memenuhi kebutuhan hidup manusia. Tetapi bukan hanya kebutuhan 
  manusia menjadi alasan penciptaan. Alam ini dibutuhkan pula oleh 
  makhluk hidup lainnya bahkan oleh seluruh sistem kehidupan atau 
  ekosistem. Alam ini berfungsi ekumenis (untuk didiami) oleh seluruh 
  ciptaan lainnya. Alam ini rumah kita. Kata-kata "ekonomi", 
  "ekumene", dan "ekologi" berakar dalam kata Yunani "oikos" yang 
  artinya rumah. "Ekonomi" berarti menata rumah; itulah tugas 
  pengelolaan kebutuhan hidup. "Ekumene" berarti mendiami rumah; 
  itulah tugas penataan kehidupan yang harmonis. "Ekologi" berarti 
  mengetahui/menyelidiki rumah; itulah tugas memahami tanggung jawab 
  terhadap alam.

  Manusia adalah penata dalam rumah bersama ini. Pertama, ia adalah 
  pengelola ekonomi, tetapi ia lebih dikuasai oleh kerakusan. Karena 
  itu, diperlukan pembaruan/pertobatan dan pengendalian diri supaya 
  timbul sikap respek dan tindakan penuh tanggung jawab terhadap 
  lingkungan. Maka tanggung jawab Kristen dalam memelihara kelestarian 
  lingkungan kiranya dapat pula dirumuskan dalam pola 4R -- "repent", 
  "restraint", "respect", "responsible" (atau bertobat, menahan diri, 
  menghormati, dan bertanggung jawab). Ibadah yang sejati adalah 
  ibadah yang dapat diimplementasikan secara bertanggung jawab dalam 
  hidup yang nyata.

  Dalam menata kehidupan bersama, umat Kristen harus bermitra dengan 
  semua orang, bahkan dengan semua makhluk. "Ekumene" berarti bekerja 
  bersama membangun kehidupan di atas planet ini. Tugas itu adalah 
  tugas bersama semua orang dan seluruh ciptaan. Maka tugas orang 
  Kristen adalah memberi kontribusinya sesuai dengan iman dan 
  pengharapan kepada Allah, memperkaya dan mengoptimalkan ibadahnya 
  dengan terus-menerus menjaga dan memelihara kehidupan yang diberikan 
  Tuhan kepadanya sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan. Optimalisasi 
  ibadah itu dinyatakan dalam bentuk disiplin, penghematan, dan 
  pengendalian diri.


  Kepustakaan
  -----------
  Berkhof, Hendrikus. Christian Faith. Grand Rapids: Eermands, 1997.

  Bhagat, Shantilal P. Creation in Crises: Responding to God Covenant. 
  Illionis: Bredren, 1990.

  Birch, Charles. et. al. eds. Liberating Life: Contemporary Approach 
  to Ecological Theology. Maryknoll: Orbis, 1990.

  Derr, Thomas Sieger. Ecology and Human Liberation. Geneva: WCC, 
  1973.

  Drummond, Celia-Dianne. A Handbook in Theology and Ecology. London: 
  SCM Press, 1996.

  Pojman, Louis P. ed. Environmental Ethics. Oxford: Blackwell, 1993.

  Stott, John. Issues Facing Christian Today. London: Marshall Morgan 
  and Scott, 1984.

  Wolf, H. W. Antropology of the Old Testament. Philadelphia: 
  Fortress, 1981.

======================================================================
  Diambil dan disunting seperlunya dari:
  Nama jurnal: Jurnal Pelita Zaman; Volume 13 No. 1, 1998
  Penulis    : Robert P. Borrong
  Penerbit   : Yayasan Pengembangan Pelayanan Kristen Pelita Zaman, 
               Bandung 1998
  Halaman    : 8--18

 

© 1997-2016 Yayasan Lembaga SABDA (YLSA)
Isi boleh disimpan untuk tujuan pribadi dan non-komersial. Atas setiap publikasi atau pencetakan wajib menyebutkan alamat situs SABDA.org sebagai sumber dan mengirim pemberitahuan ke webmaster@sabda.org